Kamis, 10 Februari 2011

human right



I Latar Belakang

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan suatu permasalahan yang telah menjadi sebuah topik hangat di dunia pada saat ini. Hal ini timbul dikarenakan masalah HAM menyangkut kehidupan manusia, baik sebagai makhluk Tuhan maupun makhluk sosial. Meskipun agak sulit melacak dari mana dan sejak kapan HAM muncul dalam pembicaraan, namun dari beberapa rekaman sejarah kita mengetahui bahwa sejak beberapa abad sebelum masehi, orang sudah mulai membicarakan masalah HAM.

Di mulai dari zaman Yunani kuno, penghormatan yang sama terhadap sesama warga kota, kebebasan yang sama berbicara dan bertemu di depan umum, dan persamaan di depan hukum adalah norma-norma umum untuk warga negara (Polis) Athena Klasik. Perkembangan HAM kemudian dalam dunia kontemporer dimulai dari Magna Charta (1215) dan berpuncak pada keberhasilan PBB mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights (UDHR,1948).

Pembentukan UDHR sendiri dalam sejarahnya tidak terlepas dari perdebatan-perdebatan antarnegara yang berbeda kepentingan. Prinsip universalisme HAM pun ditentang dengan prinsip relativisme budaya. Salah satu aturan dalam UDHR yang menjadi perdebatan adalah mengenai hak kebebasan beragama. Sebagian negara-negara Islam menolak materi yang diatur dalam UDHR tentang hak kebebasan beragama. Pada akhirnya Organisasi Konferensi Islam pada tahun 1990, mengeluarkan suatu deklarasi mengenai hak asasi manusia versi Islam, yang dikenal dengan Deklarasi Kairo.
Deklarasi Kairo dijadikan prinsip bagi negara anggotanya dalam melaksanakan hak asasi manusia. Deklarasi tersebut juga tidak dimaksudkan untuk menentang UDHR secara keseluruhan, hanya hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam saja direvisi agar sesuai dengan ketentuan syariat.
Salah satu perbedaan materi antara UDHR dan DK adalah mengenai hak kebebasan beragama. Kedua instrumen tersebut memiliki materi yang berbeda padahal mengatur hak yang sama yaitu hak asasi manusia. Adanya dikotomi dalam pengaturan hak kebebasan beragama antara yang diatur dalam UDHR dan Deklarasi Kairo menjadikan diskusi tentang hak asasi manusia menjadi semakin menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut. Terlebih lagi hak asasi manusia telah menjadi perhatian utama masyarakat internasional sejak terjadinya peristiwa-peristiwa yang membuat dunia tersentak dengan beragam pembunuhan dan pembantaian terhadap manusia.

II Permasalahan

Oleh karena itu dalam penulisan makalah ini, penulis akan membahas beberapa masalah sebagai berikut:
1) Apakah pengertian Hak Asasi Manusia dan Hak Kebebasan Beragama?

2) Perbandingan pengaturan hak kebebasan beragama dalam UDHR dan Deklarasi Kairo?


PEMBAHASAN

A. Definisi Hak Asasi Manusia dan Hak Kebebasan Beragama
Jika ingin mendefinisikan apa yang di maksud dengan HAM dari jejak sejarah, maka niscaya kita akan kesulitan untuk mendapatkan sebuah definisi yang komprehensif, hal ini disebabkan adanya beberapa perbedaan keyakinan, ideologi, kebudayaan dan lainnya yang melatar belakanginya.
Hak Asasi Manusia adalah Hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai manusia, hak-hak tersebut bersifat universal dan dimiliki setiap orang sebagai manusia. Meskipun begitu sangat menarik apa yang di sampaikan oleh Scoot Davidson dalam bukunya mengenai HAM,
“Untuk memahami hukum internasional mengenai HAM, ada aspek-aspek tertentu dari subjek ini yang tidak dapat di tinggalkan begitu saja. Aspek-aspek ini merupakan komponen histories,politis dan filosofis dari HAM. Adalah mustahil memberi makna HAM tanpa mempelajari berbagai kekuatan yang membentuk aspek itu. Sejarah dan politik memberi dimensi kontekstual pada HAM, filsafat memberinya makna dan ilmu hukum membahas mekanisme penerapanya.”

Komisi Nasional HAM Indonesia (Komnas HAM) mendefinisikan HAM sebagai hak yang melekat pada setiap manusia untuk dapat mempertahankan hidup, harkat dan martabatnya. Dalam mengemban hak tersebut dilakukan secara seimbang antara hak dan kewajiban dan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum.
Abdul A’la Maududi memberikan pengertian hak asasi manusia dalam sudut pandang Islam, menurut beliau Hak- hak tersebut bukan pemberian siapa-siapa tapi adalah pemberian Allah SWT (Tuhan) kepada seseorang sejak ia lahir ke dunia ini. Sebab jika hak itu dianggap pemberian manusia, misal dari negara atau parlemen, maka ia dapat di tarik kembali dengan cara yang sama pada saat hak itu diberikan .

Majid Khaduri menambahkan bahwa HAM dalam Islam mengandung prinsip Keadilan, yang merupakan tujuan tertinggi dari syariat (hukum islam).

Adanya beberapa aspek yang turut membentuk definisi HAM, mengisyaratkan bahwa HAM mempunyai beragam varian. Akan tetapi perbedaan tersebut pada prinsipnya memiliki fokus utama yang sama yaitu perlindungan terhadap manusia. Perbedaan definisi terjadi karena pengambilan sumber hak asasi manusia yang berlainan.

Selanjutnya hak asasi manusia juga memiliki beragam dimensi yang tidak hanya meliputi ilmu hukum, oleh karena itu penegakkan HAM harus didukung oleh semua bidang ilmu. Aspek hukum hanyalah sebagai sebuah alat untuk penerapan HAM itu sendiri, jadi sangat sulit jika hanya menyandarkan masalah HAM pada ilmu hukum saja.

Ali Syariati dalam bukunya Agama Vs Agama, menyatakan bahwa dalam sejarah peradaban manusia tidak ada satu pun peradaban yang terlepas dari kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu yang sakral. Contoh sederhananya adalah dengan melihat benda-benda peninggalan sejarah dari setiap peradaban. Spinx di Mesir yang dibangun untuk menghormati para dewa Mesir, atau Candi Borobudur yang di pergunakan untuk ibadah umat Budha. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa rasa keberagamaan merupakan sesuatu yang dimiliki oleh umat manusia secara alamiah.

Komisi Hak Asasi Manusia PBB bersama special rappourter dari Sub Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities, mengusulkan sebuah definisi agama yang bersifat teknis, yaitu:

“Religion is an explanation of the meaning of life and how to live accordingly. Every religion has at least a creed, a code of action and cult”.

Agama adalah penejalasan tentang makna hidup dan bagaimana kita menjalaninya. Setiap agama memiliki setidaknya peribadatan, aturan tingkah laku dan pengorbanan. Definisi atas agama yang dikeluarkan tersebut masih sangat terbatas. Akan tetapi definisi tersebut setidaknya dapat digunakan sebagai ukuran pada saat hukum internasional berbicara tentang agama.

Hak kebebasan beragama meliputi kebebasan untuk mengubah agama atau keyakinanya, serta kebebasan secara pribadi atau bersama-sama dengan orang lain dan secara terbuka atau pribadi, untuk menjalankan agama atau keyakinannya dalam pengajaran, praktek, ibadah dan ketaatan.

Definisi tersebut dapat dipahami apabila melihat konteks perjalanan peradaban manusia. Jika hak asasi manusia yang terdapat dalam UDHR dapat diartikan sebagai sebuah konsep yang datang dari Barat, maka definisi tersebut menjadi sesuatu yang memiliki dasar sama sekali. Sejarah peradaban barat memang dipenuhi dengan pelanggaran hak kebebasan beragama. Pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang Katolik terhadap orang-orang Protestan dapat dijadikan salah satu bukti. Selain daripada itu, kekuasaan gereja pada zaman kegelapan telah membuat orang-orang Barat menjadi sangat frustasi.

Definisi Hak Kebebasan beragama dalam Islam memiliki perbedaan. Sejak awal Islam telah menyebutkan bahwa menganut suatu agama atau kepercayaan sepenuhnya diserahkan kepada manusia itu sendiri untuk memilihnya. Menganut suatu agama atau kepercayaan tidak boleh ada pemaksaan-pemaksaan dari pihak manapun karena antara jalan yang benar dan yang salah sudah sedemikian jelas. Islam hanya melarang seseorang keluar dari Islam (murtad) apabila telah menjadi muslim dan menjadi Atheis.

B. Pengaturan Hak Kebebasan Beragama dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948 dan Deklarasi Kairo (DK) 1990

I. Sejarah Kelahiran UDHR 1948

Universal Declaration of Human Rights (1948) adalah sebuah pernyataan dari seluruh umat manusia mengenai HAM. Meskipun dalam sejarahnya terdapat banyak perdebatan dalam pembentukanya, namun akhirnya deklarasi tersebut dapat diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Sebelum pembentukannya oleh PBB, sejarah mencatat ada beberapa instrumen HAM yang dianggap sebagai pendahulu UDHR. Istrumen-instrumen tersebut adalah :
1) Piagam PBB
2) Magna Charta (1215)
3) Bill of Rights (1689)
4) Declaration of Independence, USA (1776)
5) Bill of Rights, USA (1791)
6) Declaration of The Rights of Man and The Citizen, Prancis, (1789)

Beragam instrumen tersebut menjadi inspirasi dan sumber dalam pembentukan UDHR 1948. Ide pengaturan hak asasi manusia pada awalnya timbul bersamaan dengan kelahiran Perserikatan Bangsa-Bangsa, akan tetapi belum mencapai kesepakatan antarnegara. Ide itu tercetus karena dipengaruhi oleh kekejaman yang terjadi selama Perang Dunia Kedua, dimana Adolf Hitler dengan sadisnya melakukan pembantain terhadap jutaan kaum Yahudi dengan cara-cara yang sangat tidak berperikemanusiaan.

Setelah Perang Dunia II usai, masyarakat dunia memiliki niat untuk membuat suatu kaidah atau aturan yang dapat melindungi hak-hak asasi manusia. Perlindungan tersebut sangat ingin memfokuskan perlindungan terhadap HAM, baik yang mengatur mengenai hak sipil dan politik juga hak ekonomi, sosial dan budaya.

Presiden Amerika pada saat itu, yakni Roosevelt, mengeluarkan sebuah pernyataan tentang kebebasan yang menjadi salah satu pemicu pembentukan perlindungan HAM, kebebasan menurut Roosevelt itu dikenal dengan The Four Freedoms, yaitu, Freedom of Speech, Freedom of Worship, Freedom from Want, Freedom from Fear. Pernyataan itu merupakan simbol sebuah dukungan yang sangat besar terhadap masalah HAM, sebab Amerika dan sekutu adalah pihak yang menang perang.

Usainya Perang Dunia II dibarengi juga dengan lahirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam Piagam PBB sudah jelas di sebutkan bahwa salah satu tujuannya adalah penghormatan terhadap hak fundamental dan kebebasan. Menjelang hari penutupan Konferensi PBB di San Fransisco 1945, para editor The Annals of The American Academy of Sosial and Political Science, mengumpulkan makalah-makalah untuk suatu penerbitan khusus tentang HAM dari sejumlah pakar baik delegasi Amerika maupun delegasi asing, dengan maksud untuk menarik perhatian publik pada HAM yang acuanya telah di buat dalam piagam PBB.

Selain terdapat dalam tujuan PBB, perlindungan terhadapat hak asasi manusia juga banyak tersebar dalam bagian isi piagam PBB. Salah satu isi Piagam PBB tersebut adalah Pasal 68, tentang tugas-tugas ECOSOC, yang berbunyi :

“Dewan ekonomi dan sosial akan membentuk panitia-panitia di lapangan ekonomi dan sosial dan untuk memajukan hak-hak asasi manusia dan panitia-panitia demikian lainnya jika diperlukan untuk menjalankan tugas-tugasnya.”

Kemudian pada sidang pertama ECOSOC tahun 1946, yang mendapatkan mandat untuk membuat suatu instrumen HAM, membentuk sebuah komisi yang disebut dengan Komisi Hak Asasi Manusia (CHR), dengan tugas untuk menangani isu-isu hak asasi manusia yang belum diselesaikan. Ketentuan mengenai batas- batas permasalahan yang di tangani CHR, ditetapkan oleh ECOSOC juga pada tahun 1946. Ketentuan- ketentuan ini menyatakan bahwa komisi harus menyampaikan kepada ECOSOC, proposal, rekomendasi dan laporan mengenai:

1. Suatu Bill of Right (Pernyataan tertulis mengenai hak-hak terpenting) Internasional
2. Deklarasi atau konvensi internasional mengenai kebebasan sipil (civil libertarian), status wanita, kebebasan informasi, dan hal-hal serupa.
3. Perlindungan bagi minoritas
4. Pencegahan diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama
5. Hal-hal lain mengenai hak asasi manusia yang tidak tercakup dalam butir- butir di atas.

Selain tugas-tugas yang telah disusun di atas untuk komisi hak asasi manusia, ECOSOC juga menambahkan misi dengan ketentuan sebagai berikut: “Komisi harus membantu (ECOSOC) dalam pengkoordinasian kegiatan-kegiatan mengenai hak asasi manusia dalam sistem PBB.” Tambahan ini akan semakin mempertegas sikap dari PBB menuju suatu pendekatan yang terpadu dan menyeluruh terhadap permasalahan hak asasi manusia.

Hal yang paling utama dilaksanakan oleh komisi hak asasi manusia itu adalah membuat rumusan mengenai Bill of Rights yang berlaku bagi dunia. Agar dapat terbentuk suatu rumusan yang cepat dan menyeluruh, maka komisi ini melaksanakan sidang untuk pertama kali pada bulan Februari 1947, komisi ini diketuai oleh Eleanor Roosevelt dan beberapa anggota yang terdiri dari beberapa negara-negara.

Dalam pembahasan Bill of Rights tersebut, di dalam komisi terdapat dua pandangan yang berbeda, yaitu:
1. Pendapat pertama dipelopori oleh Amerika Serikat yang beranggapan bahwa Bill of Rights tersebut akan berbentuk deklarasi, tanpa mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.
2. Pendapat kedua yang didukung oleh negara-negara barat, berpendapat bahwa Bill of Rights itu harus berbentuk sebuah perjanjian yang mempunyai kekuatan secara hukum.

Setelah mengalami beberapa perdebatan, akhirnya disepakati sebuah jalan alternatif untuk menyelesaikan perbedaan pandangan tersebut. Komisi berhasil menemukan sebuah rumusan yang memuaskan kedua belah pihak, rumusan yang dihasilkan oleh komisi adalah bahwa Bill of Rights tersebut akan terdiri dari tiga komponen, yaitu:

1. Suatu Deklarasi
2. Suatu Perjanjian
3. Sistem Pengawasan Internasional.

Keputusan yang telah diambil oleh komisi tersebut bukanlah tanpa konsekuensi sama sekali, melainkan sebuah usaha dalam mencari format ideal perlindungan hak asasi manusia yang mampu diterima oleh seluruh masyarakat dunia. Keputusan akhir, yakni dengan membentuk suatu “deklarasi”, tentu akan memberikan sebuah keuntungan dan juga kerugian.

Keuntunganya adalah deklarasi tersebut dapat diterima secara umum, ketua komisi yaitu Eleanor Roosevelt menyatakan bahwa “deklarasi tersebut merupakan suatu standar prestasi bersama bagi semua orang dan semua bangsa.”

Diperkirakan apabila hasil komisi di beri judul “perjanjian”, maka akan kecil kemungkinan dapat di terima oleh majelis umum. Kerugianya adalah, sebagai suatu deklarasi atau resolusi, maka produk tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Salah satu kelemahan lain dari deklarasi tersebut yaitu tidak dimuatnya sama sekali lembaga atau mekanisme yang akan menjamin diindahkanya hak-hak tersebut.

Komisi tersebut telah mampu melaksanakan tugasnya secara cepat dan efisien, sehingga pada tanggal 10 Desember 1948, deklarasi tersebut dapat diterima dalam Resolusi Majelis Umum PBB no. 27(III) dengan komposisi pemungutan suara sebagai berikut:
1. 48 negara setuju
2. 8 negara abstain
3. Tidak ada negara yang menolak.

Delapan negara yang abstain adalah: Belarusia, Cekoslavakia, Ukraina, Polandia, Uni Soviet, Yugoslavia, Afrika Selatan dan Arab Saudi. Delapan negara yang abstain tersebut secara keseluruhan menerima prinsip-prinsip tentang pengaturan HAM dalam UDHR. Namun mereka keberatan terhadap beberapa pasal dalam UDHR yang mereka anggap bertentangan dengan latar belakang politik, ekonomi, budaya, agama dan ideologi negaranya.

Negara-negara sosialis yang abstain merasa keberatan mengenai beberapa pasal dalam UDHR yang cenderung terpengaruh dari ideologi liberal yang merupakan lawan abadi negara-negara sosialis semasa perang dingin. Pasa-pasal yang mereka tolak misalnya seperti Pasal 17 yang mengatur perlindungan tentang hak pribadi.

Sedangkan Arab Saudi yang melakukan abstain dalam pemungutan suara tersebut memiliki alasan yang berbeda dengan negara-negara sosialis. Arab Saudi keberatan terhadap Pasal 16 UDHR yang mengatur mengenai perkawinan, sebab dalam pasal tersebut memperbolehkan perkawinan antaragama, sedangkan dalam Islam perkawinan antaragama tidak diperbolehkan. Arab Saudi juga keberatan terhadap Pasal 18 yang mengatur mengenai hak kebebasan beragama sebab dalam pasal tersebut disebutkan hak untuk berpindah agama serta hak untuk tidak beragama. Padahal dalam Islam seseorang yang telah memeluk Islam dilarang untuk berpindah agama apalagi menjadi tidak beragama.

Lepas dari abstainya delapan negara tersebut, UDHR tetap diterima sebagai suatu standar prestasi bersama semua orang dan bangsa. Resolusi Majelis Umum PBB no. 27(III) tersebut terbagi dalam lima bagian,yaitu:
1. Part A consisted of UDHR
2. Part B The Right to Petition
3. Part C General Assembly called upon the UN Sub Commission “to make through study of the problem of minorities, in order that UN may be able take measures for the protection of racial, religious or linguistic minorities.”
4. Part D Publicity of UDHR
5. Part E “Preparation of a Draft Convenant on Human Rights and Draft Measures of Implementation.”

UDHR memiliki 30 pasal yang mengatur perlindungan hak-hak fundamental yang paling penting. Pasal-pasal tersebut mengatur mengenai perlindungan terhadap hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Sesuai dengan kesepakatan pembentukan UDHR, maka selanjutnya disusun sebuah perjanjian internasional yang lebih mengikat secara hukum. Perjanjian tersebut adalah International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Convenant on Economic, Sosial and Cultural Rights ( ICESCR) yang terbentuk pada tahun 1966.

II. Hak Kebebasan Beragama Dalam UDHR (1948)
Pengaturan mengenai perlindungan hak kebebasan beragama juga diatur dalam UDHR yang terdapat dalam pasal tersendiri. Dengan masuknya hak kebebasan beragama dalam UDHR, berarti menunjukkan betapa serius dan pentingnya hak kebebasan beragama tersebut. Dengan demikian hak kebebasan beragama dapat diasumsikan sebagai salah satu hak yang paling fundamental.

Pengaturan mengenai hak kebebasan beragama dalam UDHR diatur dalam Pasal 18. Pasal tersebut mengatur sebagai berikut:

“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsafan, batin dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah dan menepatinya baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun tersendiri.”

Pasal ini merupakan pasal utama dalam pengaturan mengenai hak kebebasan beragama. Pasal ini memberikan pengertian mengenai hak kebebasan beragama. Hak kebebasan beragama dalam pasal tersebut meliputi hak untuk beragama, hak untuk berpindah agama, hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinan, hak untuk mengajarkan agamanya. Hak- hak tersebut dapat dilaksanakan baik secara individu ataupun kelompok dan pelaksanaan hak tersebut dapat dilakukan baik di tempat umum maupun tempat pribadi.

Pada awalnya ide dimasukkanya pasal mengenai hak kebebasan beragama adalah untuk melindungi hak agama minoritas, seperti Sikh. Sejarah menceritakan bahwa sering terjadi pelanggaran atas hak kebebasan beragama seseorang dikarenakan agama yang dianutnya bukanlah agama mayoritas yang dianut oleh penduduk suatu negara.

Kesulitan pengaturan hak kebebasan beragama disebabkan adanya perbedaan politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama dari tiap-tiap negara. Perbedaan tersebut dapat memberikan penilaian yang berbeda atas hak kebebasan beragama. Hal inilah yang disampaikan oleh Karl Josef Partsch, beliau menyatakan:

“Atheist may have been satisfied to see “thought” and “conscience” precede “religion”. Liberals may have been pleased to see all three freedoms on an equal level without preference to any one of them. Strongly religious people may have regarde “thought and conscience” as corresponding not only to religion religion generally but even to the only true religion, the one to which they adhere.”

Penjelasan dari Partsch dengan jelas menyatakan kesulitan-kesulitan dalam pengaturan mengenai hak kebebasan beragama. Maka dari itu harus dicari sebuah landasan yang sama sehingga hak kebebasan beragama dapat berjalan tanpa merugikan pihak manapun.

Perbedaan politik, ekonomi, sosial, ideologi dan agama tiap-tiap negara merupakan faktor yang menjadi hambatan dalam pembentukan Pasal 18 UDHR. Pembentukan draft UDHR 1948 dibuat oleh The United Nation Human Rights Commission (UNHRC). Pada sesi kedua UNHRC telah membuat sebuah draft Pasal 18 mengenai hak kebebasan beragama. Namun pada tahap itu perwakilan dari Uni Soviet menolak draft tersebut dengan membuat draft amandemen yang menambahkan bahwa pelaksanaan hak kebebasan beragama merupakan subjek dari hukum nasional bukan hukum internasional.

Usulan draft dari perwakilan Uni Soviet tersebut akhirnya ditolak pada pertemuan sesi ketiga UNHRC. Setelah adanya draft usulan dari Uni Soviet, maka terjadi sebuah perdebatan yang seru, pada akhirnya UNHRC membentuk sebuah sub komite yang bertugas membuat rancangan pasal mengenai hak kebebasan beragama. Sub komite tersebut terdiri dari perwakilan negara Prancis, Libanon, Inggris dan Uruguay.

Sub komite tersebut akhirnya berhasil membuat rancangan mengenai pasal hak kebebasan beragama. Ketika dilakukan pemungutan suara di dalam komisi untuk pengesahan draft pasal tersebut, negara-negara sosialis melakukan abstain. Negara-negara sosialis yang abstain adalah Uni Soviet, Belarusia, Ukraina, dan Yugoslavia. Mereka lebih sepakat pada draft amandemen yang dibuat oleh Uni Soviet. Hal ini dapat dipahami sebab negara-negara sosialis tersebut tidak mengakui keberadaan Tuhan, apalagi agama. Bagi mereka agama adalah sesuatu yang dapat merusak manusia.

Selain penolakan dari negara-negara sosialis, sikap yang sama juga dilakukan oleh sebagian negara-negara Islam, khususnya Arab Saudi. Negara-negara Islam juga membuat suatu draft alternatif dengan menghapuskan kata-kata “freedom to change his religion or belief” pada Pasal 18. Alasan yang dikemukakan oleh perwakilan Arab Saudi adalah untuk mencegah penyalahgunaan pasal tersebut oleh para misionaris dalam penyebaran agama di negara-negara Islam. Negara-negara Islam memang sangat memperhatikan mengenai hak kebebasan berpindah agama sebab keadaan negara Islam atau yang berpenduduk mayoritas Islam pada saat itu sebagian besar adalah negara miskin sehingga sangat rentan terjadi perpindahan agama.

Draft alternatif dari Arab Saudi juga ditolak oleh komisi. Pada pemungutan suara terakhir, akhirnya Uni Soviet menerima bunyi Pasal 18 tersebut dimasukkan dalam bagian UDHR.
Hak kebebasan beragama merupakan karakter utama dalam prinsip kebebasan, selain itu pada saat membuat draft UDHR, hak kebebasan beragama juga dikategorikan sebagai “an absolute and sacred right”. Walaupun hal tersebut tidak tertulis didalam pasal, namun harus tetap diingat bahwa dalam menafsirkan hak kebebasan beragama, nilai-nilai absolut dan hak yang suci harus tetap menjadi acuan utama.

III. Sejarah Kelahiran Deklarasi Kairo (DK) 1990
Deklarasi Kairo (DK) merupakan sebuah instrumen hukum HAM internasional yang dibuat oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun 1990. Deklarasi tersebut dibuat sebagai acuan bagi negara anggota OKI dalam rangka pelaksanaan perlindungan terhadap HAM yang berdasarkan hukum Islam.

Sebelum kelahiran Deklarasi Kairo (DK) 1990, umat Islam telah membuat beragam aturan yang memuat mengenai hak-hak asasi manusia. Beberapa pendahulu instrumen hak asasi manusia dalam perspektif Islam adalah:

1) Piagam Madinah (Abad ke-6)
2) Universal Islamic Declaration of Human Rights, Inggris (1981)

Kedua pendahulu DK tersebut dilahirkan bukan oleh negara. Piagam Madinah hanya berbentuk perjanjian antar suku-suku di Arab Saudi pada zaman nabi. Sedangkan Universal Islamic Declaration of Human Rights (1981) hanya dibentuk oleh organisasi non-pemerintah, yaitu Dewan Islam Eropa.

Pembahasan mengenai HAM berdasarkan Islam dalam OKI dimulai pada konferensi tingkat tinggi Islam ke-5 yang berlangsung pada tanggal 26-29 Januari 1987 di Kuwait. Dalam konferensi tersebut telah berhasil dibuat sebuah draft deklarasi HAM Islam yang dibuat oleh komite ahli dan dilaporkan kepada sekretaris jenderal OKI. Namun dalam deklarasi tersebut draft HAM Islam belum disahkan, tetapi harus dipelajari terlebih dahulu oleh konferensi menteri luar negeri Islam. Konferensi tersebut mengeluarkan resolusi nomor 14/5-P(IS) yang menyepakati:

“1. Decides to refer the Draft Document on the Human Rights in Islam to the Seventeenth Islamic Conference of Foreign Ministers for study and approval.

2. Request the General Secretariat to prepare a standard final version of the document, in three official languages of the Conference, with due attention to linguistic requirement and taking into account the comment and views of Member States.”

Konferensi tingkat tinggi Islam ke-5 menyepakati bahwa draft HAM Islam akan dibicarakan lebih lanjut pada konferensi ke-17 menteri luar negeri untuk dipelajari dan persetujuan. Sedangkan sekretariat jenderal diberikan tugas untuk mempersiapkan sebuah dokumen standar yang terdiri dari tiga bahasa resmi dari konferensi.

Konferensi menteri luar negeri Islam ke-17 berlangsung pada tanggal 21-25 Maret 1988 di Jordania. Dalam konferensi tersebut melahirkan sebuah resolusi no. 44/17-P yang berisikan:

“1. To refer the draft Document on Human Rights in Islam to the Ministers of Justice in the Member States for study and finalization.
2. To request the General Secretariat to follow up the draft and to submit the final text to the following Islamic Conference of Foreign Ministers.”

Resolusi konferensi tersebut belum berhasil mengesahkan draft HAM Islam, tetapi memberikan tugas kepada negara-negara anggota untuk mempelajari dan finalisasi draft tersebut. Kepada sekjen OKI diberikan tugas untuk menindaklanjuti draft HAM Islam dan membahasnya pada konferensi menteri luar negeri selanjutnya.

Konferensi menteri luar negeri Islam ke-18 berlangsung pada tanggal 13-16 Maret 1989 di Saudi Arabia. Dalam konferensi tersebut melahirkan sebuah resolusi no. 41/18-P yang berisikan:

“1.Urges Member States to send their observations on the draft Document on Human Rights in Islam to the OIC General Secretariat as soon as possible.

2. Requests the Genertal Secretariat to follow up the receipt of the observations of Member States on the draft Document and to consider the convening of a meeting of the Expert Committee to prepare a final text to be submitted to the forthcoming Islamic Conference of Foreign Ministers.”

Resolusi tersebut menyatakan agar para negara anggota menyerahkan hasil observasinya atas rancangan HAM Islam kepada sekjen OKI secepatnya. Kepada sekjen OKI diberikan tugas untuk menindaklanjuti hasil observasi negara anggota, selain itu membuat suatu pertemuan komite ahli untuk menyiapkan draft final HAM Islam untuk dibicarakan pada pertemuan konferensi menteri luar negeri selanjutnya.

Konferensi menteri luar negeri Islam ke-19 berlangsung pada tanggal 31 Juli-5 Agustus 1990 di Kairo, Mesir. Dalam konferensi tersebut melahirkan sebuah resolusi no. 49/19-P yang berisikan:

“Recognizing the importance of issuing a Document on Human Rights in Islam that will serve as a guide for Member States in all aspects of life.

Having examined the stages through which the preparation of this draft Document has, so far, passed and the relevant report of the Secretary General.

Having examined the Report of the Meeting of the Committee of Legal Experts held in Tehran from 26 to 28 December, 1989;

1. Agrees to issue the Cairo Declaration on Human Rights in Islam which will serve as a general guidance for Member States in the field of human rights.”

Resolusi konferensi menteri luar negeri ke-19 akhirnya berhasil menyepakati sebuah deklarasi HAM Islam. Deklarasi tersebut bernama, “Cairo Declaration on Human Rights in Islam”, yang terdiri dari 30 pasal. Deklarasi tersebut bertujuan untuk memberikan prinsip-prinsip umum bagi negara-negara anggota dalam pelaksanaan perlindungan HAM.

IV. Hak Kebebasan Beragama Dalam Deklarasi Kairo (1990)

Deklarasi Kairo (DK) 1990 merupakan istrumen pengaturan HAM yang berlandaskan hukum Islam. Deklarasi tersebut terdiri dari 30 pasal yang mengatur mengenai hak dan kebebasan sipil dan politik serta hak dan kebebasan ekonomi, sosial dan budaya.

Pengaturan mengenai hak kebebasan beragama dalam DK diatur dalam pasal khusus. Namun untuk memahami pengertian mengenai hak kebebasan beragama dalam DK kita harus melihat bagian-bagian lain dari deklarasi yang akan membantu pemahaman tentang hak kebebasan beragama.

Pembukaan DK mengatur sebagai berikut:
“Berkeinginan untuk memberikan sumbangan terhadap usaha-usaha umat manusia dalam rangka menegakkan hak-hak asasi manusia, melindungi manusia dari pemerasan dan penindasan, serta menyatakan kemerdekaan dan haknya untuk mendapatkan kehidupan yang layak sesuai dengan syariat Islam.

Bahwa hak-hak asasi dan kemerdekaan universal dalam Islam merupakan bagian integral agama Islam dan bahwa tak seorang pun pada dasarnya berhak untuk menggoyahkan baik keseluruhan maupun sebagian atau melanggar atau mengabaikanya karena hak-hak asasi dan kemerdekaan itu merupakan perintah suci mengikat yang termaktub dalam wahyu Allah SWT. yang diturunkan melalui nabi-Nya yang terakhir.”

Pembukaan DK menjelaskan bahwa tujuan dibentuknya DK adalah untuk memberikan sumbangan terhadap perlindungan HAM yang sesuai dengan syariat Islam. Hal ini dapat dipahami sebab DK dikeluarkan oleh OKI, yang merupakan organisasi internasional antarnegara yang beranggotakan negara Islam atau penduduknya mayoritas beragama Islam.

HAM dalam Islam merupakan satu kesatuan dari agama, sehingga perlu kiranya umat Islam membuat aturan HAM yang berdasarkan hukum Islam. Salah satu hak yang dijamin dalam DK adalah hak kebebasan beragama, hak tersebut merupakan salah satu hak fundamental yang menjadi perhatian bagi umat Islam.

Pasal 10 DK mengatur sebagai berikut:
“Islam adalah agama yang murni ciptaan alam (Allah SWT). Islam melarang melakukan paksaan dalam bentuk apapun atau untuk mengeksploitasi kemiskinan atau ketidaktahuan seseorang untuk mengubah agamanya atau menjadi atheis.”

Pasal 10 DK merupakan pasal utama yang mengatur mengenai hak kebebasan beragama. Isi pasal tersebut diawali dengan pernyataan bahwa Islam adalah agama yang murni ciptaan Allah SWT. Dengan demikian Islam memiliki perangkat aturan tersendiri yang bersumber dari wahyu Tuhan (Al Quran).

Hak kebebasan beragama dalam pasal tersebut menyatakan larangan untuk memaksakan suatu agama atau kepercayaan tertentu kepada orang lain. Hal ini didasari dari Al Quran, yaitu Surat AlBaqarah ayat 256 yang menyatakan tidak ada pemaksaan dalam beragama. Islam melarang seseorang untuk memaksakan agama atau kepercayaan terhadap orang lain, yang diperbolehkan dalam Islam adalah dakwah atau mengajak. Itu pun harus dilakukan dengan cara yang baik, tidak dengan berbohong atau memberikan imbalan dalam bentuk apapun.

Pasal tersebut menjelaskan larangan agar tidak mengeksploitasi kemiskinan dan kebodohan sebagai alat untuk mengajak seseorang menyakini suatu agama atau kepercayaan tertentu. Secara tersurat pasal di atas melarang seseorang untuk menjadi atheis, karena dalam Islam mensyaratkan bahwa rasa berketuhanan itu merupakan sifat alamiah manusia. Sehingga apabila manusia sudah tidak mengakui keberadaan Tuhan maka eksistensi dirinya patut dipertanyakan.

C. Perbandingan Pengaturan Hak Kebebasan Beragama Dalam UDHR Dengan DK
Setelah dijabarkan bagaimana UDHR dan DK mengatur mengenai hak kebebasan beragama, maka pada sub-bab ini akan dijelaskan tentang perbandingan dalam pengaturan hak kebebasan beragama yang terdapat dalam kedua instrumen tersebut.

Perbandingan yang dimaksudkan adalah untuk meninjau kembali materi yang diatur mengenai hak kebebasan beragama dalam UDHR dengan DK. Perbandingan dilakukan tidak untuk mencari manakah yang lebih baik antara pengaturan hak kebebasan beragama dalam UDHR dengan DK, namun hal tersebut dilakukan hanya untuk lebih memahami faktor yang mempengaruhi pengaturan tersebut.

UDHR merupakan sebuah instrumen hukum internasional yang mengatur mengenai HAM. Dalam instrumen tersebut mengatur perlindungan mengenai hak sipil dan politik serta hak sosial, ekonomi dan budaya. Sebagai instrumen hukum HAM internasional maka pembentukan UDHR dimaksudkan untuk memberi acuan kepada seluruh negara di dunia dalam pelaksanaan perlindungan HAM.

Salah satu hak yang diatur dalam UDHR adalah mengenai hak kebebasan beragama. Hak kebebasan beragama erat kaitannya dengan hak sipil dan politik karena hak kebebasan beragama lebih berorientasi pada pengutamaan hak-hak individu. Pengaturan hak kebebasan beragama dalam UDHR terdapat dalam Pasal 18. Pasal tersebut menjelaskan mengenai hak kebebasan beragama yang terdiri dari; hak untuk beragama, hak untuk berganti agama, hak untuk mengamalkan agama dengan cara mengajarkannya, melakukannya baik secara sendiri ataupun kelompok dan di tempat umum atau tempat pribadi.

UDHR tidak menjadikan agama (Tuhan) sebagai landasan dalam pembentukan UDHR, lalu mengapa dalam UDHR ada pasal yang mengatur tentang hak kebebasan beragama?. Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan memperhatikan sejarah pembentukan UDHR. Pada masa itu kekejaman Nazi-Jerman dalam Perang Dunia II merupakan salah satu pemicu pembentukan UDHR. Kekejaman Nazi-Jerman dilakukan terhadap kaum Yahudi di Eropa. Pada masa itu jutaan kaum Yahudi dibunuh secara tidak manusiawi dengan alasan karena mereka memeluk agama Yahudi. Atas dasar itulah mengapa perlindungan terhadap hak kebebasan beragama perlu diatur dalam UDHR.

Pengaturan hak kebebasan beragama pada CD secara jelas bersumber pada agama, dalam hal ini adalah Islam. Pernyataan tersebut dapat kita lihat dari pembentukan CD dan isi deklarasi tersebut. CD dibuat oleh OKI yang merupakan organisasi internasional antarnegara yang beranggotakan negara-negara Islam atau mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Islam.

Implementasi tujuan OKI dilakukan dengan cara memberikan sebuah acuan bagi negara-negara anggotanya dalam pergaulan internasional. Pada saat wacana HAM menjadi pembicaraan yang hangat pada setiap forum internasional, maka OKI menyadari untuk membuat suatu acuan HAM yang berlandaskan agama Islam. Apalagi sejarah mencatat, pada saat pembentukan UDHR, negara Islam, yaitu: Arab Saudi menolak beberapa pasal dalam UDHR karena dianggap bertentangan dengan hukum Islam.

Salah satu pasal yang dianggap bertentangan dengan hukum Islam adalah pasal yang mengatur tentang hak kebebasan beragama. Alasan yang dikemukakan oleh perwakilan Arab Saudi pada saat itu adalah mengenai diperbolehkannya seseorang untuk berpindah agama. Padahal dalam Islam, seseorang yang telah memeluk Islam dilarang untuk keluar dari Islam. Setiap umat Islam mempunyai hak dan tanggung jawab ketika ia telah menyatakan diri sebagai seorang muslim.

Pada akhirnya,tahun 1990, OKI membuat sebuah deklarasi HAM yang berlandaskan hukum Islam. Deklarasi tersebut dikenal dengan nama Cairo Declaration ( DeklarasiKairo/DK). DK bejumlah 25 pasal yang mengatur HAM, baik dalam bidang hak sipil dan politik juga hak ekonomi, sosial dan budaya. Salah satu hak yang diatur dalam DK adalah hak kebebasan beragama.

DK sudah pasti berdasarkan agama Islam. Asumsi tersebut dapat terlihat jelas pada bagian pembukaan DK.. Pembukaan DK menyebutkan bahwa deklarasi tersebut ingin memberikan sumbangan bagi usaha-usaha manusia dalam menegakkan HAM yang sesuai dengan syariat Islam dan HAM merupakan bagian integral dari agama Islam yang merupakan perintah suci dari Tuhan (Allah SWT) melalui Al Quran serta diturunkan kepada nabi-Nya yang terakhir, Muhammad SAW.

Kita dapat melihat jelas bahwa DK bersumber dari hukum Islam, yaitu: Al Quran dan Assunah. Dengan demikian, maka secara otomatis pengaturan yang berada dalam CD juga berdasarkan syariat Islam, sebab bagian pembukaan merupakan ruh dalam setiap bentuk perjanjian internasional dan DK merupakan salah satu perjanjian internasional.
Hak kebebasan beragama pada DK diatur dalam Pasal 10. Kalimat awal pasal tersebut secara jelas menyatakan bahwa Islam merupakan agama yang murni ciptaan Tuhan. Kemudian dilanjutkan bahwa Islam melarang pemaksaan memeluk agama, apalagi jika mengeksploitasi kemiskinan dan kebodohan seseorang. Pasal tersebut juga melarang seorang muslim untuk merubah agamanya dan menjadi atheis. Pasal tersebut mengacu pada Al Quran, Surat Al Baqarah ayat 256; yang menyatakan bahwa dalam Islam tidak ada pemaksaan dalam beragama.

PBB, dalam satu rumusan yang dikemukakan pada tahun 1974 menekankan bahwa, bicara soal HAM,

“….. don’t speak biological need, we mean those condition of life which allow as fully to developed and use our human qualities of intelligence and conscience and to satisfy our spiritual need.”

Rumusan tersebut menyatakan bahwa bicara tentang HAM tidak hanya terkait dengan pemenuhan kebutuhan biologis saja, tetapi juga terpenuhinya kebutuhan mental spiritual, dalam hal ini kita dapat masukkan mengenai pentingnya agama dan kebebasan beragama bagi manusia.

Telah dijelaskan tentang definisi agama dan kebebasan beragama yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Dalam hukum internasional, pendapat para ahli hukum dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum internasional, hal ini sesuai dengan keputusan ICJ Pasal 38 ayat (1). Meskipun berada pada urutan terakhir sebagai sumber hukum internasional setelah perjanjian internasional, kebiasaan internasional dan prinsip umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab, namun pendapat para ahli dapat dijadikan sebagai sumber hukum apabila sumber hukum lainnya belum mengatur permasalahan tersebut.

Pada tahun 1993 Komite HAM PBB dan sebuah badan independen yang terdiri dari 18 orang ahli menjelaskan agama atau keyakinan sebagai :

“ Theistic, non-theistic and atheistic belief, as well as the right not to profess any religion or belief.”

Definisi tersebut telah menjelaskan bahwa agama atau keyakinan dapat berbentuk ketuhanan, non ketuhanan, tidak bertuhan dan tidak mengakui sama sekali agama atau keyakinan tertentu.

Definisi hak kebebasan beragama secara formal terdapat dalam UDHR, tepatnya dalam Pasal 18 yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsafan batin dan agama, dalam hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun yang tersendiri.”

Pasal tersebut menjelaskan mengenai hak kebebasan beragama yang terdiri dari; hak untuk beragama, hak untuk berganti agama, hak untuk mengamalkan agama dengan cara mengajarkannya, melakukannya baik secara sendiri ataupun kelompok dan di tempat umum atau tempat pribadi.

Pengaturan hak kebebasan beragama dalam UDHR pada awalnya adalah untuk melindungi agama minoritas. Sebab pemeluk agama minoritas pada sebuah negara biasanya sering menjadi sasaran pemberlakuan tindakan diskriminasi. Kita dapat melihat bagaimana kelompok minoritas muslim di Cina mendapat perlakuan yang sewenang-wenang oleh pemerintah Cina.

Pada saat pembahasan materi hak kebebasan beragama dalam UDHR terjadi beberapa perdebatan mengenai isi pasal tersebut. Negara-negara sosialis yang dipimpin oleh Uni Soviet menganggap bahwa hak kebebasan beragama tidak perlu dimasukkan dalam pengaturan internasional, cukup diatur dalam hukum nasional saja. Sedangkan negara Islam yang diwakili oleh Arab Saudi menolak penggunaan kata “hak untuk berganti agama” dalam pasal tersebut. Alasan yang dikemukakan adalah karena bertentangan dengan hukum Islam. Pada akhirnya, Pasal 18 tetap dimasukkan sebagai bagian dalam UDHR meskipun terjadi beberapa perdebatan.

Pengaturan hak kebebasan beragama dalam DK adalah Pasal 10 yang berbunyi:
“Islam adalah agama yang murni ciptaan alam (Allah SWT). Islam melarang melakukan paksaan dalam bentuk apapun atau untuk mengeksploitasi kemiskinan atau ketidaktahuan seseorang untuk merubah agamanya atau menjadi atheis.”

Pasal 10 DK merupakan pasal utama yang mengatur mengenai hak kebebasan beragama. Materi yang diatur dalam pasal tersebut adalah; Islam melarang pemaksaan dalam bentuk apapun terhadap seseorang untuk menyakini sebuah agama; larangan untuk mengeksploitasi kemiskinan atau ketidaktahuan seseorang untuk merubah agamanya; larangan untuk menjadi atheis.

Kemudian apakah persamaan dan perbedaan materi pengaturan hak kebebasan beragama antara UDHR dengan DK?
Persamaan antara kedua deklarasi tersebut adalah mereka mengatur mengenai hak kebebasan beragama. Kedua deklarasi tersebut mengakui bahwa hak kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang paling fundamental sehingga harus dimasukkan ke dalam deklarasi. Selain itu UDHR dan CD dengan tegas melarang pemaksaan seseorang untuk menyakini sebuah agama atau kepercayaan tertentu. Menurut UDHR Pasal 18 dan DK Pasal 10 menyatakan bahwa tidak boleh ada pemaksaan terhadap seseorang atas suatu agama atau kepercayaan tertentu.

Dalam UDHR Pasal 18 dinyatakan setiap orang memiliki hak kebebasan beragama sesuai dengan apa yang diyakini. Kemudian hak untuk mengamalkan ajaran agamanya dengan berbagai macam cara seperti beribadah, mengajarkannya dan menepatinya baik sendiri maupun berkelompok, baik di tempat umum maupun tempat khusus. DK Pasal 10 juga menjelaskan mengenai larangan Islam untuk melakukan pemaksaan beragama kepada seseorang.
Selain persamaan yang dimiliki oleh kedua deklarasi tersebut, terdapat juga perbedaan yang mendasar tentang materi pengaturan hak kebebasan beragama antara UDHR dengan DK.

Materi pengaturan hak kebebasan beragama dalam UDHR ingin melewati batas-batas agama, ideologi, politik dan budaya tiap-tiap negara. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga keuniversalan deklarasi. Dengan demikian materi pengaturan hak kebebasan beragama dalam UDHR tidak berdasarkan sebuah pemahaman agama tertentu, yang digunakan adalah nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Nilai-nilai kemanusiaan universal yang digunakan adalah prinsip-prinsip HAM universal seperti prinsip persamaan dan non diskriminasi.

Agama, ideologi, politik dan budaya hanya dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam materi pengaturan hak kebebasan beragama UDHR. Perbedaan berbagai macam latar belakang dari negara-negara anggota PBB harus merasa terwakili dalam pengaturan hak kebebasan beragama tersebut. Sedangkan materi pengaturan hak kebebasan beragama dalam DK sudah pasti berdasarkan agama, yaitu; Islam. Pasal 10 DK dengan jelas menyatakan bahwa Islam adalah agama yang murni ciptaan Tuhan. Sebagai agama yang murni maka Islam merupakan agama yang sempurna, sehingga pengaturan mengenai HAM termasuk hak kebebasan beragama perlu diatur berdasarkan prinsip hukum Islam yang bersumber dari Al Quran dan Assunnah.

Jadi perbedaan yang mendasar tentang materi pengaturan hak kebebasan beragama antara UDHR dengan DK adalah landasan utamanya. Jika UDHR menggunakan nilai-nilai kemanusiaan universal yang diadopsi dari prinsip persamaan dan non diskriminasi sedangkan DK menggunakan dasar hukum Islam dalam pengaturannya.

Perbedaan yang lainnya adalah dalam UDHR Pasal 18 dinyatakan yang termasuk hak kebebasan beragama adalah hak untuk beragama, hak untuk berganti agama dan hak untuk menjalankan ajaran agamanya. Hak tersebut dijamin berdasarkan hukum internasional dan berlaku secara universal. Sehingga setiap orang harus mendapatkan jaminan hak kebebasan beragama yang sesuai dengan isi Pasal 18 tersebut.Sedangkan hak kebebasan beragama dalam DK hanya mengatur mengenai hak untuk beragama, hak untuk tidak mendapatkan paksaan dalam menentukan suatu agama atau kepercayaan tertentu, larangan untuk menjadi atheis.

Perbedaan antara kedua deklarasi tersebut terdapat dalam hal pengaturan mengenai hak kebebasan beragama. Latar belakang UDHR yang ingin melampaui batas-batas perbedaan tiap-tiap negara mengisyaratkan kebebasan yang absolut kepada masing-masing individu dalam menentukan agama atau kepercayaannya. Kebebasan itu termasuk hak untuk berpindah agama sesuai dengan apa yang dinyakini, kemudian untuk melaksanakan ajaran agama pilihannya baik secara individu maupun kelompok serta di tempat umum atau khusus. Latar belakang DK yang dipengaruhi oleh agama Islam memberikan beberapa batasan terhadap hak kebebasan beragama yang disesuaikan dengan hukum Islam. Pembatasan tersebut diantaranya adalah hak untuk berpindah agama dan menjadi atheis.


SIMPULAN
Dari pembahasan di atas mengenai hak kebebasan beragama yang diatur dalam UDHR dan DK, maka dapat diambil beberapa simpulan:
1) Sangat sulit untuk mencari pengertian hak asasi manusia yang komprehensif. Hal ini dikarenakan bahwa hak asasi manusia itu memiliki beragam dimensi dan faktor. Secara normatif belum ada sebuah instrumen hukum internasional yang memberikan sebuah definisi tentang agama. Menurut Commission on Human Rights PBB, definisi agama adalah: sebuah penjelasan tentang makna hidup dan bagaimana menjalankan hidup tersebut. Sebuah agama sekurang-kurangnya harus memiliki sebuah keyakinan, cara beribadah dan pemujaan. Definisi hak kebebasan beragama secara normatif terdapat dalam Deklarasi Universal HAM 1948 (Universal Declaration of Human Rights/ UDHR) dan Deklarasi Kairo 1990. Definisi hak kebebasan beragama dalam UDHR mengatur tentang hak untuk beragama, hak untuk berpindah agama, hak untuk menjalankan perintah agamanya secara sendiri maupun berkelompok baik di tempat umum atau pribadi sedangkan dalam Deklarasi Kairo juga mengakui kebebasan memilih dan memeluk suatu agama apapun dengan larangan tidak boleh keluar dari Islam dan menjadi Atheis bagi seorang muslim.

2) Kebebasan beragama dalam UDHR diatur di dalam Pasal 18 UDHR. Menurut Pasal 18 UDHR kebebasan beragama adalah: hak untuk beragama, hak untuk berpindah agama, hak untuk menjalankan perintah agamanya secara sendiri maupun berkelompok baik di tempat umum atau pribadi. Kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang diatur dalam DK. Pengaturan kebebasan beragama terdapat dalam Pasal 10 DK. Pasal tersebut menjelaskan tentang larangan Islam terhadap pemaksaan dalam beragama, larangan untuk berpindah agama dan larangan untuk menjadi atheis. Pengaturan hak kebebasan beragama yang terdapat dalam UDHR dan DK memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah kedua instrumen tersebut mengatur tentang hak kebebasan beragama. Selain itu kedua instrumen tersebut juga memberikan definisi tentang hak kebebasan beragama. Perbedaannya adalah pengaturan hak kebebasan beragama dalam UDHR tidak berdasarkan pada agama, kebudayaan dan ideologi tertentu, melainkan berdasarkan prinsip-prinsip umum yang diakui oleh masyarakat internasional. Sedangkan pengaturan hak kebebasan beragama dalam DK hanya berdasarkan pada sebuah agama tertentu yaitu: Islam. Perbedaan yang lain adalah definisi hak kebebasan beragama, dalam UDHR hak kebebasan beragama mengatur tentang hak untuk memilih agama atau keyakinan tertentu, hak untuk berpindah agama, hak untuk menjalankan perintah agama secara sendiri maupun berkelompok dan di tempat umum atau pribadi. Sedangkan dalam DK hak kebebasan beragama mengatur tentang larangan untuk memaksakan seseorang untuk memilih agama dan kepercayaan tertentu, larangan untuk berpindah agama, larangan menjadi atheis.